Ibu Negara Iran Tepis Stereotip Barat tentang Perempuan Iran

Resistensi.id – Pertengahan September 2022, melalui kasus kematian Mahsa Amini -warga Iran beretnis Kurdi- Iran dilanda gelombang demonstrasi di sejumlah kota besar. Ribuan warga Iran protes atas kematian Mahsa Amini yang disebut tewas akibat tindak kekerasan aparat kepolisian karena gadis 22 tahun tersebut tidak mengenakan jilbab sesuai aturan.

Demonstrasi yang sebelumnya berjalan damai dengan menuntut agar oknum aparat tersebut diseret ke pengadilan, berubah menjadi brutal setelah pihak Rumah Sakit dan tim forensik mengumumkan penyebab kematian Amini bukan karena tindakan kekerasan, melainkan serangan jantung oleh penyakit bawaan yang dideritanya sejak kecil.

Pihak Kepolisian menunjukkan bukti CCTV, Mahsa Amini tersungkur sendiri karena kehilangan kesadaran tanpa ada sentuhan fisik dengan aparat yang menginterogasinya. Meski pihak keluarga telah menerima kasus ditutup dan demonstran berkurang drastis karena tidak ada bukti kepolisian bersalah, namun sejumlah aksi protes tetap terjadi.
Demontsrasi berubah menjadi aksi kerusuhan, menyerang aparat kepolisian, merusak fasilitas umum, bahkan membakar masjid dan pusat-pusat ziarah di beberapa kota besar Iran. Pemimpin tertinggi Iran tidak lepas dari kecaman, dan perusuh menuntut sistem pemerintahan Islam digulingkan. Slogan-slogan revolusi digaungkan. Herannya, Amerika Serikat dan Uni Eropa yang selama empat dekade lebih menerapkan embargo ketat pada Iran yang menjerumuskan Iran pada jurang krisis berkepanjangan, tiba-tiba mengaku empati pada nasib rakyat Iran.

Melalui media-media mainstream internasional, AS dan antek-anteknya yang anti Iran mendukung perusuh dan mencitrakan pemerintah Islam Iran melanggar HAM dan Islam yang diterapkan di Iran, tidak ubahnya Islam di Afghanistan di bawah Taliban yang tidak ramah pada perempuan. Kelompok-kelompok oposisi Iran di luar negeri turut gencar melakukan aksi unjukrasa bahkan menyerang kantor-kantor kedutaan Iran. Konser paduan suara yang didirigen Joe Biden tersebut, tidak sedikit disambut aktivis kebebasan dan HAM di Indonesia. Mereka ikut-ikutan menyanyikan koor mengecam Iran.

Belakangan, aksi-aksi demonstrasi brutal yang menunggangi kasus insiden kematian Mahsa Amini terbukti rekayasa Barat. Perusuh bahkan sebelumnya telah mendapat latihan di luar negeri dalam membuat simulasi chaos. Ratusan pucuk senjata yang dipaksakan masuk untuk mempersenjatai perusuh berhasil digagalkan penjaga perbatasan Iran. Total 23 mata-mata yang menjadi agen Mossad Israel ditangkap. Jaringan yang dikenal bernama Cyrus tersebut dikendalikan dari salah satu negara Eropa.

Kementerian Intelijen Iran mengungkap, agen Mossad tersebut ditangkap di Teheran, Isfahan, Yazd, Azarbaijan, dan Golestan. Jaringan itu merencanakan pembunuhan sejumlah perwira Iran dan menyiapkan sabotase sejumlah lokasi di Iran, dengan memanfaatkan serangkaian unjuk rasa di Iran.

Upaya delegitimasi pemerintahan Islam Iran oleh perang hibrida Barat yang kali ini melalui isu kebebasan perempuan kembali berbuah kegagalan. Kesemarakan perayaan hari kemenangan Revolusi Islam Iran ke-44 pada 11 Februari 2023 mengakhiri rangkaian petualangan demonstran bayaran pemburu dollar di Iran. Keterlbatan jutaan rakyat Iran dalam perayaan kemenangan Revolusi Islam Iran menjadi bukti empiris, mayoritas rakyat Iran masih setia berdiri di belakang Ayatullah Sayid Ali Khamanei.

Perayaan hari kemenangan atas runtuhnya rezim Syah Pahlevi tersebut ditutup dengan amnesti massal dari Pemimpin Tertinggi Iran terhadap ratusan pelaku kerusuhan. Kebanyakan dari mereka termakan hasutan dan hanya ikut-ikutan. Mereka kembali kepangkuan Republik Islam Iran dengan memperbaharui sumpah untuk bersama membangun negara dan melanjutkan cita-cita revolusi Imam Khomeini.

Peran Diplomasi Elegan Ibu Negara

Meski dasarnya dalam kamus politik dan struktur hukum Republik Islam Iran tidak mengenal istilah ibu negara, namun apa yang telah dilakukan Prof. Dr. Jamileh Alamolhuda, istri Presiden Ebrahim Raisi dalam menangkal isu negatif mengenai perempuan di Iran dipercaya sebagai langkah politik yang diambilnya dengan memanfaatkan posisinya sebagai istri presiden.

Berbeda dengan istri presiden-presiden Iran sebelumnya, Professor Filsafat Pendidikan dari Shahid Beheshti University Teheran ini, membuka dirinya untuk diwawancarai dan secara terbuka tampil di depan publik. Dengan penguasaan sejumlah bahasa asing, dia menjawab pertanyaan-pertanyaan awak media asing yang mewancarainya. Penulis puluhan buku dengan tema filsafat dan pendidikan ini, juga aktif mendampingi Presiden Iran disetiap lawatan resmi luar negerinya.

Salah satu langkah taktis yang dipercaya berhasil meredam isu pelanggaran HAM oleh Iran terhadap perempuan, adalah digelarnya The First International Congress for Women of Influence atau Kongres Internasional Pertama Perempuan Berpengaruh, pada pertengahan Januari 2023 di Teheran atas inisiatif istri Raisi ini. 300 tamu asing, termasuk 70 pejabat perempuan dan aktivis dari berbagai bidang, termasuk istri kepala negara, menteri, wakil presiden, dan anggota parlemen, datang ke Iran melalui kongres tersebut untuk mendengar suara perempuan Iran tanpa retouching media barat. Ketua Umum Kowani, Dr Ir Giwo Rubianto Wiyogo, hadir dalam kongres tersebut sebagai perwakilan organisasi perempuan Indonesia.

Kesuksesan digelarnya kongres perempuan yang diikuti perempuan dari lima benua dan 96 negara ini tidak lepas dari luasnya koneksi dan banyaknya kolega di luar negeri yang sudah dimiliki peraih gelar doktor pendidikan dari Tarbiat Modares University ini jauh sebelum suaminya menjadi presiden Iran.

Dengan kehadiran langsung di Iran, ditunjukkan pencapaian dan kemajuan yang dicapai perempuan Iran pasca revolusi. Apa yang dituduhkan Barat tentang terkekang dan tidak bebasnya perempuan Iran dalam menuntut ilmu dan berprestasi tidak terbukti sama sekali.

Kedatangan Ibu Negara Iran ke Indonesia melalui kunjungan resmi Presiden Ebrahim Raisi selama dua hari, pada 23-24 Mei 2023 di Jakarta, seolah menuntaskan dahaga publik Indonesia atas rasa penasaran terhadap nasib dan keadaan perempuan Iran saat ini. Antusiasme sejumlah universitas, ormas keagamaan, lembaga pendidikan, yayasan dan perserikatan perempuan dalam menyambut kedatangan istri Presiden Iran ini menunjukkan, pemerintah dan publik Indonesia tidak termakan hasutan Barat untuk membenci Iran melalui kasus Mahsa Amini.

Dalam dua hari, setelah disambut dan mendapatkan jamuan teh dari Ibu Iriana Jokowi di Istana Bogor, Prof. Dr. Jamileh Alamolhuda harus menghadiri rangkaian agenda padat; diantaranya memberi kuliah umum di Universitas Paramadina, STAI Sadra Jakarta dan UNJ Jakarta, termasuk menghadiri launching buku yang ditulisnya, “Teori Pendidikan Islam: Tinjauan Qur’ani dan Filosofis”. Buku yang sebelumnya telah diterjemahkan dalam bahasa Arab dan bahasa Inggris tersebut, diterjemahkan ke bahasa Indonesia salah satunya oleh Lisyati Fatimah, pengurus Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Iran 2023-2025 yang juga mahasiswa Doktor Pemikiran Islam Kontemporer di Mustafa International University, Teheran, Iran.

Pendiri dan direktur Institute of Fundamental Studies of Science and Technology of Shahid Beheshti University sejak tahun 2013 ini juga menyempatkan mengunjungi Pesantren As Safiiyah di Bekasi, sekaligus menziarahi makam alm. Hj. Tuty Alawiyah, sahabat lamanya. Saat Tuty Alawiyah menjadi Menteri Peranan Wanita era Presiden Soeharto sudah bersahabat dengan Jamile Alamolhoda. Di markas Kongres Wanita Indonesia (Kowani), ibu dua anak ini berbagi pengalaman antar negara untuk kemajuan perempuan di dunia. Dialog interaktif juga berlangsung online antara pendiri International Association of Women of Influence “Gawhar Shad” ini dengan 102 organisasi perempuan yang tergabung di bawah federasi Kowani di seluruh Indonesia. Di Masjid Istiqlal, ia disambut Imam Besar Masjid Istiqlal dan unsur pimpinan ormas-ormas Islam.

Banyaknya agenda pertemuan, yang tidak semuanya bisa dihadiri, Jamileh Alamolhuda berbagi tugas dengan putrinya. Dr. Haniah atau Rehana Sadat Raisi menghadiri undangan Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta. Putri pertama Ebrahim Raisi ini memiliki dua gelar master, dalam ilmu sosial dari Universitas Al-Zahra dan dalam Quran dan Hadits dari Universitas Ilmu Hadits Shahrari, dan gelar PhD dalam Sosiologi didapatnya dari Universitas Teheran. Putri Raisi yang lain, Maryam Sadat Raisi, memiliki gelar Sarjana Fisika dari Universitas Sharif dan gelar Master dalam Ilmu Quran dan Hadits.

Perjalanan Prof. Jamileh Alamolhuda, PhD ke Indonesia dan sejumlah negara lainnya, adalah perjalanan breaking the prejudice, pemecah prasangka. Istri Presiden Iran ini yang berbagi pengalaman dan menceritakan bagaimana perempuan di negerinya diperlakukan adalah bukti nyata di depan mata betapa media telah berperan banyak dalam mendistorsi kemajuan sebuah bangsa muslim. Iran tetaplah bukan negara yang sepenuhnya sempurna dan tidak memiliki kekurangan, namun setidaknya, Iran tidaklah seburuk yang digambarkan media Barat. Iran dengan sistem Islamnya kerap dicitrakan mengekang kebebasan perempuan, hanya karena diklaim ketat dalam mengatur busana perempuan. Padahal negara-negara yang mengklaim mengusung woman’s liberation justru memiliki catatan panjang kasus kekerasan terhadap perempuan.

Melalui ibu negara Iran, kita tahu, Iran sekarang, berbeda dengan Iran masa sebelum revolusi Islam Iran. Revolusi Islam di Iran telah memasukkan perempuan Iran pada era yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kran kebebasan pada perempuan Iran untuk berpatisipasi dalam politik dan ruang publik di buka sebesar-besarnya, bukan dalam hal sensualitas tubuh dan pekerja kasar sebagaimana di masa Shah yang juga menggemborkan kebebasan pada perempuan, tetapi sebagai manusia utuh dengan kecerdasan pemikiran dan intelektualitas.

Revolusi Islam memulihkan martabat perempuan Iran dan memperkenalkannya pada identitas aslinya. Perempuan tidak lagi dinilai dari fisiknya, tapi dari ruhnya, yang juga bisa berpikir dan memiliki harapan-harapan hidup sebagaimana laki-laki. Dalam empat dekade terakhir, perempuan Iran turut bersama laki-laki dalam mencapai tingkat profesional dan ilmiah yang tinggi di lingkungan yang aman dan bermoral. Iran bukan memperjuangkan kesetaraan gender di semua hal sebagaimana di Barat, tapi memperjuangkan keadilan gender.

Di masa Shah perempuan Iran didorong keluar rumah untuk menonjolkan sensualitas, sementara di masa Republik Islam Iran, perempuan didorong keluar rumah untuk menonjolkan intelektualitas. Dengan tampilan busana yang sama sekali tidak menarik, Ibu Jamileh, lebih memilih menonjolkan pemikiran dan karya-karya besarnya, bukan hanya untuk Iran, tapi juga untuk dunia.

Sumber : Catatan Ismail Amin, Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Pendidikan Islam Universitas Internasional Almustafa Republik Islam Iran

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *