Cendekiawan Malaysia: Hanya Iran yang dapat diharapkan oleh Palestina

Resistensi.id – KEGAGALAN negara Arab, dan wakil negara Islam untuk bersikap tegas demi membantu penderitaan dan tangis Gaza membawa kepada satu pesan penting.

Yaitu hanya Iran yang dapat diandalkan dan benar-benar konsisten dalam membantu dan menyuarakan perjuangan Palestina untuk merdeka.

Yang perlu dipahami di sini, berdirinya negara Republik Islam Iran pada tahun 1979 itu sendiri sangat terkait dengan isu Palestina, hal ini menjadikan Iran memandang Palestina sebagai topik sentral dan penting dan tidak bisa ditawar lagi.

Pada tahun 1948, ketika kebanyakan negara-negara Islam masih terkurung di bawah penjajahan negara-negara Barat, Ayatullah Abal Qassem Kashani, seorang ulama dan marja yang terkenal memobilisasi massa untuk berunjuk rasa menolak pembentukan negara Israel.

Kashani melihat pendudukan Israel di atas tanah Palestina sebagai satu petaka kolonialisme, dan “bertujuan untuk menumpahkan darah umat Islam siang dan malam”.

Baca : Ayatullah Khamenei: Israel Kini Tak Berdaya-Bingung, Akan Lumpuh Tanpa AS

Unjuk rasa yang dilakukan oleh Ayatullah Kashani ini begitu membekas dihati bangsa Iran .

Ia melaporkan kepada perdana menteri Iran waktu itu dan memanggil semua pegawai atau diplomat Iran pulang dan menutup konsulat di Palestina pada tahun 1951.

Pejabat perdana menteri Iran ketika itu, Hussein Fatemi mengatakan Iran tidak akan pernah mengusir rezim Israel.

Kejatuhan pengangkatan Mossadeq yang dibarengi dengan kudeta dipelopori oleh penguasa Anglo-American pada tahun 1953, membolehkan Shah Iran melancarkan kembali  hubungan diplomatik dengan Israel.

Sewaktu itulah Shah menjadikan tentara dan polisi rahsia – Savak – sangat dekat dengan Mossad(agen intelijen israel).

Perlawanan para ulama Iran sebelum tahun 1979 terhadap Savak dilihat sebagai perlawanan terhadap Israel itu sendiri, hal ini terus berlanjut hingga tahun 1979.

Baca : PBB: Bendera Kami Tak Mampu Lagi Lindungi Nyawa Warga Palestina, Sudah Tak Ada Tempat Aman di Gaza

Apabila gerakan menjatuhkan Shah dilancarkan awal tahun 1970an, Imam Khomeini benar-benar tahu retorika penting ini dan akan memudahkan untuk melakukan penggulingan Shah.

Untuk menjadikan kampanye menjatuhkan Shah relevan, Ayatullah Khomeini (pendiri Republik Islam Iran) menyatakan bantuan besar Shah kepada rezim israel ialah dengan memberi bantuan minyak kepada rezim itu. Malah Ayatullah Khomeini menegaskan, “ini adalah alasan terbesar aku menentang monarki”.

Sebelum itu, pada tahun 1968, Ayatullah Khomeini mengeluarkan fatwa menyokong gerakan Fatah untuk melawan Israel dengan mengangkat senjata, serta mengarahkan rakyat Iran membayar zakat mereka untuk membantu pejuang Palestina.

Kemudian setelah meraih kemenangan Republik Islam Iran, Imam Khomeini membuat seruan, Yaum al-Quds’ (Hari al Quds) yang bertepatan dengan setiap Jumaat terakhir Ramadan untuk menolak keberadaan rezim israel. Pada akhirnya penolakan terhadap Israel telah menjadi satu budaya yang normal di negara Parsia itu.

Baca : Negara Barat Dulu Mencap Pejuang Kemerdekaan Indonesia Ekstremis, Kini Mereka Melabeli Hamas Teroris

Ketika awal Republik Islam Iran berdiri, pengurusan atas PLO termasuk Yasser Arafat diterima dengan bersahabat di Teheran. Berikutnya Iran malah memutuskan hubungan dengan Mesir karena membuka hubungan diplomatik dengan rezim israel.

Meskipun kemudian dikhianati PLO lantaran hubungan Arafat dan Saddam Hussein (ketika itu Iraq sedang berperang dengan Iran), Khomeini tetap konsisten dalam memperjuangkan isu Palestina.

Ini memberi pelajaran kepada kita mengapa Iran tetap mendukung Hamas dan Jihad Islam meskipun kedua organisasi perlawanan itu bermain dua kaki  dengan Qatar dan Turki.

Iran sangat vokal dalam isu Palestina dan pada prinsipnya memilih untuk menolak semua perjanjian damai antara Israel dan Palestina sejak Fahd Peace Plan 1981, Madrid Conference 1991, Oslo Accords 1993, Wye River Memorandum 1998, Camp David Summit 2000, dan Road-Map antara tahun 2002-2003.

Iran beranggapan semua perjanjian itu tidak memberikan hak kemerdekaan buat Palestina. Hanya kemerdekaan penuh Palestina saja yang akan dapat menghapus penderitaan rakyat Palestina.

Dalam kalangan sarjana dan intelektual Iran, sikap dan kejelasan dalam isu Palestina sangat bergantung kepada ketegasan sikap Ali Shariati.

Pada Julai 1967, Shariati menerbitkan sebuah esei dengan judul (terjemahan Inggrisnya) “New Colonialism and Its Brokers” di Majalah Ferdosi yang secara terang menyatakan; “Barat telah memberikan Palestina kepada Yahudi sebagai tebusan dan ganti rugi perlakuan mereka pada waktu Nazisme di Eropa berkuasa.”

Shariati seterusnya mengatakan,  “… Mengapa mereka tidak memberikan sebuah tempat di Polandia, yaitu tempat dimana dahulu mereka menyiksa kaum Yahudi untuk dibuatkan sebuah negara?” Poin Shariati ini digunakan hingga sekarang oleh berbagai pihak.

Shariati seterusnya mempersoalkan mengapa Palestina dan umat Islam yang harus membayar penderitaan yang dilakukan oleh umat Kristiani terhadap masyarakat Yahudi selama 2,000 tahun tersebut.

Baca : Jenderal IRGC Iran Ismail Qaani: Kami terus Mendukung Kelompok Perlawanan Hadapi Rezim Zionis

Sudut pandang Shariati yang sangat berpengaruh dalam dunia kesarjanaan Iran menjadi penunjang advokasi beliau dalam gerakan Dunia Ketiga. Ketajaman pandangan Shariati adalah ketika mengatakan, zionisme adalah merupakan bentuk gerakan Imperialisme yang baru.

Ali Shariati yang mula-mula menamakan zionisme sebagai satu bentuk rasisme. Malah Shariati beranggapan kelahiran faham nasionalisme di Barat adalah berpuncak dari penafsiran Barat terhadap rasisme dan anti-semitism.

Shariati mengatakan lagi, zionisme adalah pemaksaan imperialisme Barat terhadap umat Islam. Oleh karena itu imperialisme Barat dan zionisme harus dilihat secara bersama yang tidak terpisah.

Nilai nilai yang saya uraikan di atas tidak berlaku di kalangan negara-negara Arab, maupun Turki. Iran melihat kelangsungan negaranya secara organik sangat berhubungan dengan kemerdekaan Palestina menjadikan kedudukan Iran dan sikapnya terhadap Palestina begitu unik.

Hal ini memberitahu kita mengapa ulama dan sarjana di Iran sangat sensitif ketika berhadapan dengan isu Palestina. Di saat negara Arab gagal memainkan peranan dalam menghentikan kebiadaban Israel di Gaza dan Palestina, negara-negara ini juga memilih untuk terus berdagang dengan Israel justeru menormalisasi hubungannya. Turki juga tidak terkecuali.

Baca : Hari Al-Quds Sedunia 2023, Iran Umumkan Tema “Tolak Perjanjian Abraham”

Inilah salah satu diantara sebab yang mendorong Ayatullah Ali Khamenei dan Sayyid Hassan Nasrallah, pemimpin tertinggi Iran dan Sekjen Hezbullah mengkritik posisi negara Arab dan Turki yang terus bermain sandiwara seolah-olah bermusuhan dengan Israel.

Untuk umat Islam di Malaysia yang bersungguh-sungguh memperjuangkan nasib dan kemerdekaan bangsa Palestina yang tertindas, pendekatan pelbagai bidang harus digerakkan. Salah satunya adalah untuk mendekati Iran yang konsisten dalam isu ini.

Malaysia perlu bekerjasama dengan lembaga yang tidak hipokrit untuk terus menyuarakan soal Palestina ini. Saya percaya pendekatan Madani, Anwar Ibrahim juga menyadari hakikat hubungan ini. – 15 November, 2023.

Baca : Serangan ke Gaza Berlanjut, Ayatullah Khamenei Peringatkan Israel Cs

Sumber : Penulis adalah Mohd Faizal Musa atau Faisal Tehrani bertugas sebagai felo di Institut Alam dan Tamadun Melayu (UKM), Felo Pelawat di ISEAS-Yusuf Ishak dan Bergabung untuk sebuah projek di bawah Weatherhead Center, Universitas Harvard. Faisal menulis mengenai berbagai isu yang menjadi minat beliau.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *