Resistensi.id – Sayyid Hassan melaporkan bahwa pada tahun 80an Hizbullah telah melancarkan serangan pengorbanan diri terhadap konvoi “Israel” yang membunuh dan melukai tentaranya.
Akibatnya, mereka mengepung desa tempat kejadian, menangkap semua laki-laki berusia 14-60 tahun, memberlakukan jam malam dan memutus aliran air dan listrik di desa tersebut. Orang-orang tidak diperbolehkan membeli obat-obatan atau makanan dan dikepung di dalam rumah mereka selama jangka waktu tertentu.
Pada saat itu orang-orang (di antaranya adalah ulama besar) mengeluh kepada pimpinan Hizbullah bahwa operasi tersebut tidak dipandu oleh keputusan yang bijaksana. Mereka mengatakan bahwa kelompok perlawanan lebih menderita daripada “Israel” sebagai akibat dari pembalasan tersebut.
Sementara di pihak “Israel” hanya ada beberapa kematian dan cedera. Kepemimpinannya diserahkan kepada Imam Khomeini untuk meminta bimbingan. Bel menjawab bahwa mereka harus terus melakukan perlawanan. Dia mengatakan orang-orang salah mengidentifikasi manfaat dari serangan itu.
Keuntungannya bukan karena mereka membunuh beberapa tentara. Manfaatnya adalah penumpukan operasi akan mengarah pada pembebasan. Tanggapan Imam Khomeini jelas, terus menolak apapun resikonya.
Sebuah kisah luar biasa yang diriwayatkan oleh Sayyid Hasan Nasrallah, menjelaskan penderitaan besar Hizbullah di tahun 80an hanya untuk melenyapkan konvoi IOF, mendapat pelajaran setelah berkonsultasi dengan mendiang Imam Khomeini.
Ini adalah bacaan yang bagus bagi mereka yang bertanya-tanya mengapa Nexus Perlawanan tidak memulai perang penuh saat ini. Tujuan dan sasaran besar perlawanan adalah pembebasan, dan bukan untuk mencetak angka pembunuhan.
Perlawanan belajar banyak dari trial & error dan pengalaman masa lalu. Jika perang penuh menguntungkan kelompok perlawanan, maka merekalah yang akan memulainya. Tapi waktu ini disukai oleh perlawanan dan akan meningkat jika dirasa perlu.
Ingat, tujuannya adalah pembebasan, bukan pembunuhan dan penghancuran.
Sumber : Chanel Telegram Sabilulungan