Suster Katolik Tolak Tinggalkan Gaza Demi Merawat Korban Serangan Israel

Foto: Suster María del Pilar (kiri) dan Suster María del Perpetuo Socorro (kanan) dipotret pada sebuah ibadah di Gereja Katolik di Gaza pada Desember 2022.(Getty)

Resistensi.id – HALO, saya Suster María del Pilar… Kemarin sore kami menghadiri pemakaman 18 umat Kristiani yang meninggal akibat pengeboman Israel.”

Itulah pesan singkat yang direkam oleh seorang biarawati asal Peru di Jalur Gaza. Versi penuh video itu disiarkan portal Voz Católica.

Sosok yang berbicara dalam video tersebut adalah Suster María del Pilar Llerena Vargas. Dia berasal dari sebuah kota di bagian selatan Peru, Arequipa.

Suster Maria telah melayani di Paroki Keluarga Kudus di Gaza selama empat tahun terakhir. Di paroki itulah berdiri satu-satunya gereja Katolik di Palestina.

Suster Maria tergabung dalam kongregasi Pelayan Tuhan dan Perawan Matara, yang merupakan bagian dari Institut Sabda Inkarnasi. Dia melayani di Gaza bersama saudara kembarnya, yang juga seorang biarawati, Suster María del Perpetuo Socorro.

Kedua kakak-beradik itu, bersama para biarawati dari kongregasi lain, selama ini melayani lebih dari 600 orang di paroki Gaza – termasuk anak-anak difabel, orang sakit, dan orang lanjut usia yang menggunakan kursi roda.

Israel melancarkan operasi pengeboman di Gaza beberapa jam setelah serangan Hamas pada 7 Oktober lalu.

Pengeboman Israel sejak saat itu telah menewaskan 5.000 warga sipil, termasuk lebih dari 2.000 anak-anak, menurut Kementerian Kesehatan Gaza.

Kepala Bagian Konsuler Kedutaan Besar Peru di Mesir, Giancarlo Pedraza Ruiz, membenarkan bahwa pihaknya “melakukan upaya evakuasi warga Peru dan kerabat mereka yang berkewarganegaraan lain di Gaza menuju Mesir”.

Pedraza Ruiz berkata, terdapat sembilan orang yang telah mereka evakuasi. Empat di antaranya adalah warga Peru, termasuk seorang anak perempuan berusia enam tahun.

Suster María del Perpetuo Socorro dan Suster María del Pilar Llerena Vargas adalah dua warga Peru yang juga masuk daftar evakuasi. Namun kedua biarawati itu menyatakan bahwa mereka tidak akan meninggalkan Gaza.

Berikut petikan dialog Suster María del Pilar dengan BBC Mundo.

Suster María del Pilar, dalam rekaman pesan video, Anda mengatakan bahwa paroki Gaza tidak memiliki akses air bersih dan listrik. Bagaimana situasi di paroki Gaza saat ini?

Di sini terdapat sekitar 600 orang. Seperti daerah lain di Gaza, kami tidak memiliki akses air bersih. Namun kita punya air sumur alami. Kami menggunakan air itu untuk mandi dan aktivitas lainnya. Kami tidak tahu berapa lama persediaan air itu bisa bertahan. Kami sudah membeli air mineral agar masyarakat bisa minum. Kami membelinya dengan harga tiga kali lipat dari harga biasanya.

Anda mengatakan bahwa Anda menghadiri pemakaman 18 umat Kristiani yang tewas akibat bom yang menghancurkan Gereja Ortodoks Santo Porfirius.

Militer Israel membantah telah menargetkan gereja dan juru bicara Kementerian Luar Negeri Israel, Lior Hayat, mengatakan kepada BBC Arabic bahwa gereja “terkena kerusakan kolateral” ketika Israel menyerang “pusat komando dan kendali Hamas” di dekat tempat beribadah itu. Bisakah Anda menjelaskan apa yang terjadi?

Mereka meninggal karena pengeboman Israel. Salah satu kamar tempat mereka tidur, runtuh. Akibatnya, banyak umat Kristiani meninggal, begitu juga anak-anak yang ikut atau datang ke kegiatan paroki kami atau bersekolah di sekolah kami.

Saya keluar dari kompleks paroki untuk pertama kalinya sejak awal kejadian untuk bisa menemani keluarga Kristen di pemakaman, untuk sedikit menghibur mereka, meskipun saya tahu itu sangat sulit.

Di mana para korban dimakamkan?

Setiap paroki di sini memiliki kuburannya sendiri.

Anda menyebutkan bahwa di permakaman Anda melihat gambaran yang tidak akan pernah terhapus dari pikiran Anda.

Itu memang benar. Sayangnya memang demikian.

Saat saya pergi ke permakaman, saya merasakan kepedihan saat seorang anak yang mengucapkan selamat tinggal kepada ayahnya. Kepedihan orang tua yang berpamitan dengan anaknya memang lebih menyakitkan. Ada keluarga-keluarga yang seluruh anaknya meninggal. Dan mereka adalah anak-anak yang kami kenal. Itu sangat menyakitkan.

Apakah Anda mempunyai stok makanan? Hanya beberapa truk bantuan yang diperbolehkan masuk.

Syukurlah, Patriark Latin Yerusalem membantu kami dan masyarakat.

Kedua gereja, Latin dan Ortodoks, bekerja sama dengan sangat baik, dan itu merupakan berkat besar dari Tuhan. Kami membeli makanan, membeli kasur. Memang dengan harga yang lebih mahal, tapi, syukur kepada Tuhan, kami punya makanan.

Apakah pihak gereja juga melindungi orang-orang yang mengungsi di Gereja Ortodoks sebelum pengeboman tanggal 20 Oktober?

Ya, beberapa orang memutuskan untuk datang kepada kami karena jelas sebagian bangunan tempat tinggal mereka runtuh. Beberapa dari mereka ikut bersama kami.

Konsulat Peru di Mesir menegaskan bahwa mereka mengambil langkah-langkah untuk evakuasi warga negara Peru dan keluarganya. Apakah Anda bersedia meninggalkan Gaza?

Tidak. Mereka menelepon kami dari Kedutaan Peru di Israel. Dan setelah itu giliran kedutaan dan konsulat Peru di Mesir yang mengontak kami. Mereka memberi tahu kami bahwa mereka memiliki semua informasi kami, bahwa segala sesuatunya sudah siap di perbatasan saat kami ingin berangkat.

Namun mereka tidak pernah menanyakan niat kami.

Kami tidak akan meninggalkan umat kami. Saya telah tinggal di sini selama empat tahun dan inilah hidup saya. Ini adalah paroki saya. Mereka adalah orang-orang penting dalam kehidupan saya dan saya tidak akan pergi dari sini. Mereka membutuhkan bantuan kami.

Apakah Anda mengambil keputusan itu meskipun Anda tahu bahwa dengan adanya serangan udara, risiko kematian Anda meningkat setiap hari?

Ya, saya sangat sadar akan hal itu karena saya mendengar suara ledakan. Saya yakin semua orang di paroki ini mengetahui hal itu.

Semua umat Kristiani sebenarnya bisa pergi ke selatan Gaza untuk menyelamatkan diri, tapi tidak satu pun dari mereka yang mau pergi. Setiap orang ingin tinggal di parokinya. Dengan kata lain, mereka ingin berada dekat dengan Sakramen Kudus, dekat dengan Tuhan. Mereka merasa aman berada di sini.

Israel menyebarkan selebaran kepada orang-orang di Gaza utara untuk memperingatkan bahwa mereka yang tidak pergi ke selatan Sungai Wadi Gaza berisiko dianggap sebagai “kaki tangan organisasi teroris.” Seperti apa kenyataannya di lapangan?

Di paroki ada anak-anak, ada orang difabel.

Banyak orang yang datang menggunakan kursi roda, ada pula orang lanjut usia dan banyak di antara mereka yang tidak bisa berjalan. Ada juga seseorang yang menderita kanker yang menjalani operasi otak. Kami menampung beberapa orang yang terluka dari paroki Ortodoks yang dirawat di sini karena di antara para pengungsi kami ada pula dokter.

Bagaimana cara mengangkut 600 orang, termasuk anak-anak, orang sakit, orang tua? Kami tidak bisa. Kami benar-benar tidak bisa melakukannya.

Saya percaya ini adalah alasan kemanusiaan dan semestinya Israel dapat memahami kami, semestinya mereka dapat memahami bahwa kami tidak dapat bergerak.

Kami menginginkan perdamaian, kami hanya menginginkan perdamaian.

Untuk itu kami harus banyak berdoa. Paus Fransiskus menyebut tanggal 27 Oktober ini sebagai Hari Doa. Saya percaya inilah saatnya bagi kita semua untuk bersatu dalam permohonan besar ini untuk mendoakan perdamaian.

Sumber : BBC

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *