Resistensi.id – Nama Tepi Barat di wilayah Palestina bakal diganti sepihak oleh Israel menjadi Yudea dan Samaria. Hal ini menyusul Parlemen Israel yang menyetujui rancangan undang-undang (RUU) penggantian sebutan Tepi Barat (West Bank).
Untuk diketahui, Palestina memiliki dua wilayah yang terpisah oleh wilayah Israel yakni Jalur Gaza dan Tepi Barat. Posisi Tepi Barat berada di sebelah barat Sungai Yordan dan di sebelah timur Yerusalem, kota yang diperebutkan oleh Israel.
Berdasarkan perjanjian PBB tahun 1947, sebagian besar wilayah yang sekarang disebut Tepi Barat akan menjadi bagian dari negara Palestina, demikian dilansir Britannica.
Sementara Israel mengenal Tepi Barat secara sepihak dengan nama alkitab mereka yakni Yudea dan Samaria.
Sejarah Wilayah Tepi Barat
Tepi Barat memiliki luas 5.650 km persegi dan terkurung daratan. Wilayah ini dihuni oleh 4 juta jiwa, termasuk warga Israel yang membangun permukiman ilegal dan wilayah yang diambil secara paksa dari orang-orang Palestina.
Pada konflik tahun 1967, Israel mengambil tanah yang diperuntukkan oleh PBB sebagai bagian dari negara Palestina, dari kependudukan Yordania (penguasa sebelumnya). Secara teori, batas-batas pendudukan Israel di Tepi Barat juga diatur oleh hukum internasional, demikian dilansir Al Jazeera.
Pada 2004 dan 2016, Mahkamah Internasional (ICJ) dan Dewan Keamanan PBB menyatakan pembangunan permukiman Israel di Tepi Barat adalah tindakan ilegal.
Sebelum serangan brutal Israel di Gaza pada 7 Oktober, lebih dari 700.000 warga Israel tinggal di Tepi Barat di lebih dari 150 pemukiman ilegal dan sejumlah pos terdepan. Jumlah ini meningkat secara dramatis setelah tanggal 7 Oktober.
Pihak Israel mengklaim bahwa permukiman tersebut diperlukan untuk keamanan serta sebagai penyangga terhadap negara-negara Arab yang bermusuhan, selain Iran. Israel membual bahwa Perjanjian Oslo tentang pembagian wilayah Palestina, tak melarang pembuatan permukiman.
Hal ini yang kemudian memunculkan wilayah Israel di Tepi Barat dengan sebutan Yudea dan Samaria. Israel mengklaim wilayah di Tepi Barat dengan sebutan itu dengan pembenaran agama untuk mengambil tanah Palestina.
Pendudukan Israel menyebabkan puluhan ribu warga Palestina terbunuh di Tepi Barat. Hal itu diperparah dengan perampasan hak milik, kesulitan ekonomi, hingga kontrol militer terhadap warga Palestina.
Dalam sejarahnya, warga Palestina melakukan perlawanan terhadap pendudukan Israel di Jalur Gaza dan Tepi Barat. Intifada pertama pada 1987-1993 yang direspons Israel dengan penangkapan massal, penggunaan peluru serta gas air mata.
Kondisi tersebut membuat sekitar 1.000 orang Palestina terbunuh, termasuk ratusan di antaranya anak-anak.
Kemudian Intifada kedua, pada 2000-2005, Sekitar 3.000 warga Palestina dan lebih dari 1.000 warga Israel, serta 64 warga negara asing, menjadi korban.
Pada 2002, dibangun pagar pemisah Israel yang sebagian besar ada di Tepi Barat. Pagar itu membatasi akses warga Palestina terhadap sumber daya dan pekerjaan.
Sampai saat ini, pos pemeriksaan dan pembatasan pergerakan menjadi tantangan sehari-hari bagi warga Palestina.
Asal Usul Nama Yudea dan Samaria
Mengutip Britannica, istilah “Yudea dan Samaria” mengacu pada wilayah Yudea dan Samaria dalam Alkitab. Istilah ini sudah ada sejak konflik tahun 1967.
Nama Yudea diambil dari suku Yehuda di Israel kuno, yang menetap di wilayah tersebut pada awal Zaman Besi, sekitar sebelum abad ke-10 SM. Nama ini pertama kali diterapkan pada Tepi Barat pada Desember 1967.
Wilayah yang disebut Yudea ini membentang ke selatan dari Ramallah hingga Bersyeba dan mencakup wilayah Yerusalem, Betlehem, dan Hebron. Sementara Samaria berpusat di Perbukitan Samaria, yang mencakup Karmel, Gilboa, Ebal, dan Gerizim, dan kota Nablus (dekat Sikhem kuno).
Sejak dulu, penggunaan “Yudea dan Samaria” dikaitkan dengan sayap kanan dalam politik Israel, yang menolak seruan solusi dua negara yang bertujuan untuk mengakhiri konflik Israel-Palestina.
Sebaliknya, istilah “Tepi Barat” mempunyai pengakuan yang lebih luas, karena telah tercantum dalam perjanjian internasional, seperti Perjanjian Oslo antara pemerintah Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).
Bisa dikatakan, “Yudea” dan “Samaria” yang didefinisikan oleh pemerintah Israel, tidak selaras dengan geografi wilayah tersebut. Wilayah tradisional Yudea dan Samaria meluas melampaui Tepi Barat dan mencakup daerah-daerah, seperti Bersyeba dan Kaisarea, yang terletak di luar Tepi Barat.
Perbedaan ini terjadi karena perbatasan Tepi Barat ditentukan semata-mata berdasarkan perjanjian gencatan senjata antara Israel dan Yordania pada 1949 dan bukan berdasarkan pertimbangan sejarah, geologi, atau demografi.
Kedua istilah tersebut hanya terminologi yang berakar pada sejarah Yahudi. Pihak Israel ingin menekankan pentingnya Tepi Barat bagi orang-orang Yahudi, bahkan jika Yudea dan Samaria, sebagaimana dipahami secara historis, tidak dipetakan secara rapi ke dalam perbatasan tahun 1949.
Namun, penggunaan “Yudea dan Samaria” masih kontroversial karena secara sepihak menerapkan istilah khusus sejarah Yahudi, pada wilayah yang sebagian besar penduduknya bukan Yahudi.
Kementerian Luar Negeri Palestina mengecam langkah parlemen Israel yang menyetujui rancangan undang-undang untuk mengganti istilah “Tepi Barat” dengan “Yudea dan Samaria”.
Dalam sebuah pernyataan, kementerian menyebutnya sebagai eskalasi berbahaya yang bertujuan untuk mencaplok wilayah pendudukan.
“Undang-undang ini, bersama dengan tindakan pendudukan lainnya, tidak menciptakan hak sah bagi Israel atas tanah Negara Palestina,” ucap pernyataan tersebut, seperti dikutip dari Anadolu Ajansi, Selasa (11/2/2025).
“Undang-undang ini batal demi hukum, ilegal, dan merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional dan resolusi PBB, yang merupakan ancaman langsung terhadap keamanan dan stabilitas regional dan global,” tambah pernyataan itu.
Sumber: