Foto: Nasehat Raja Saudi ke Syah Iran: Anda itu Bukan Syah Prancis, Populasi Negara Anda 90 persen Muslim. (dok)
Resistensi.id – Arab Saudi dan Iran menjalin hubungan diplomatik sejak tahun 1929 dengan penandatanganan Perjanjian Persahabatan Saudi-Iran. Namun karena Iran mengakui Israel, hubungan menjadi tidak aktif. Hubungan membaik pada tahun 1960-an, ketika Raja Saud naik tahta menggantikan ayahnya, Raja Abdul Aziz al-Su’ud. Hubungan baik itu ditandai dengan saling mengunjungi antar keduanya. Raja Saud mengundang secara khusus Syah Pahlevi untuk menunaikan ibadah haji. Beberapa kompi dipersiapkan khusus untuk pengamanan Syah selama di Saudi. Iran dan Saudi juga menggagas berdirinya OPEC, yang diawal kemunculannya sangat disegani Barat.
Ketika Raja Faisal naik tahta, hubungan terancam memburuk. Syah Pahlevi tahu diri. Raja Faisal keras pada Zionis, sementara Syah berhubungan dekat dengan Israel. Namun, demi misinya membangun solidaritas Islam, tahun 1966 Raja Faisal ke Tehran. Dia secara khusus mengajak Syah untuk bergabung dengan lembaga-lembaga Islam multinasional yang digagasnya, seperti OKI dan Liga Muslim Dunia. Syah Pahlevi menyambut baik dan mendukung proyek Pan-Islamisme Raja Faisal.
Dalam sebuah korespondensi, Syah mengirim surat kepada Raja Faisal untuk mempengaruhinya agar memodernisasi Arab Saudi tidak setengah-setengah. “Ayolah, Bro!. Modernkan. Buka negaramu. Jadikan sekolah bercampur perempuan dan laki-laki. Biarkan perempuan memakai rok mini. Bangunlah disko. Jadilah modern. Kalau tidak, saya tidak jamin bro, kamu akan tetap di singgasanamu.”
Sebagai tanggapan, Raja Faisal menulis, “Yang Mulia, saya menghargai saran anda. Bolehkah saya mengingatkan anda?. Anda bukan Syah Prancis. Anda tidak sedang berada Lysee. Anda berada di Iran. Populasi rakyat anda 90 persen muslim. Please jangan lupakan itu.”
Meski tidak satu paham terkait modernisasi, era 60 sampai 70-an adalah hubungan emas Riyadh-Tehran. Kedua kerajaan ini membangun koalisi yang mendapat pengakuan dunia sebagai dua tokoh politik yang paling berpengaruh di Timur Tengah. Syah Pahlevi dan Raja Faisal meluncurkan program besar-besaran pembangunan militer, program modernisasi domestik dan proyek pembangunan ekonomi dan sosial yang mengesankan. Proyek keduanya berjalan mulus, dengan lonjakan pendapatan minyak mereka yang tak tertandingi. Pada dekade ini duet maut Menteri Perminyakan Saudi Ahmed Zaki Yamani dan Menteri Keuangan Iran Jamshid Amouzegar membuat pakar-pakar ekonomi AS dan Barat kelimpungan. Kerjasama-kerjasama bisnis yang dirancang dengan AS selalu menguntungkan keduanya. AS menyebut Iran dan Saudi sebagai pilar kembar yang paling menentukan nasib AS di kawasan.
Sayang, Pahlevi lebih memilih tetap mengakui Israel, meski telah berkali-kali dibujuk Raja Faisal untuk mendukungnya menggempur Israel. Syah fokus pada ambisinya membangun Iran dengan modernisasi ala Eropanya. Syah memanfaatkan ketegangan Saudi dengan AS dengan lebih dekat ke AS. Kesepakatan-kesepakatan bisnis ditandatangani yang membuat pundi-pundi kekayaan Syah makin melimpah. Dia menggelar perayaan 2.500 tahun Kekaisaran Persia, pada 12-16 Oktober 1971. Dia ingin menunjukkan peradaban dan sejarah kuno Iran dan kemajuan kontemporer Iran di bawah kuasanya. Iran di bawah kendali Syah memiliki kekuatan militer paling mengerikan kelima di dunia.
Dengan mengundang 600 tamu kehormatan yang dijamu dengan makanan dan anggur yang disediakan restoran Paris Maxim’s. Peralatan makan dibuat menggunakan porselen dan linen Limoges oleh D. Porthault. 250 mobil Mercedes-Benz 600 digunakan untuk mengantar tamu dari bandara dan kembali. Perayaan acara itu tercatat dalam Guinness Book of World Records sebagai pesta paling mahal yang pernah diadakan dalam sejarah modern.
Meski diundang, Raja Faisal menolak hadir. “Ngapain juga saya hadir di acara disko-disko tidak jelas begitu.” tegasnya. Dia tidak mungkin hadir diacara super glamour disaat dia dengan dekritnya meminta kerajaan melakukan penghematan. Dia sekali lagi hanya mengingatkan, “Anda muslim, dan tidak sepantasnya menghabiskan ratusan juta dollar hanya untuk pesta perayaan.” Prediksi Raja Faisal benar, pesta berlebihan itulah yang menghancurkan Syah. Dari Najaf, Imam Khomeini mendorong rakyat Iran berdemonstrasi memprotes penghamburan kas negara oleh Syah. Imam Khomeini menyebut pesta itu dengan “Festival Iblis”.
Meski Raja Faisal tumbang lebih dulu, dengan insiden penembakan oleh keponakannya pada tahun 1975, namun kekuasaan Syah Pahlevi akhirnya tergulung oleh gelombang revolusi Imam Khomeini empat tahun kemudian. Bukan hanya Syah harus kehilangan singgasananya, namun imperium yang sempat diperingati usianya yang ke 2500 tahun itu juga ikut terkubur.
Arah politik kedua negara berubah drastis. Sepeninggal Raja Faisal, Saudi menjadi lebih moderat pada AS dan lebih lunak pada Israel. Dan ditinggal Syah Pahlevi yang kabur, Iran menjadi sangat keras pada AS dan menjadi musuh paling berbahaya bagi Israel. Hubungan Riyadh-Tehran yang sempat mesra pun, kembali menegang. Raja Fahd mengomandoi ulama-ulama Wahabi menyerang mental Iran dengan fatwa Syiah sesat. Iranpun terkucil dari dunia Islam dan kawasan sejak itu.
Sayang sejarah tidak mengizinkan, Imam Khomeini dan Raja Faisal yang sama-sama anti Zionis dan pro Pan-Islamisme hidup di era keduanya sama-sama pemegang pucuk kekuasaan di negaranya masing-masing. Aliansi keduanya, tentu akan membuat AS dan Israel tidak bisa tidur nyenyak. Mimpi buruk yang mengerikan.
Sumber : Ditulis oleh Ismail Amin Pasannai ketua Himpunan pelajar Indonesia – Iran